Selasa, 03 Desember 2019

Sahabat terbaik


Mereka bertiga melanjutkan obrolan hingga petang, mereka tertawa hampir – hampir menangis karena tak kuasa menahan tawa yang tiada habisnya. Errol bercerita tiada hentinya, pengembaraan nya ke pulau – pulau langka, dan pertemuannya dengan mahluk – mahluk yang tak biasa, membuat Erda semakin ingin banyak tahu tentang siapa sebenarnya Errol. Tapi dasarnya Errol adalah pengembara, sekuat apapun Erda ingin mengulik kehidupannya, ia hanya akan menemukan pada savana hijau luas, seperti tak berujung, padang itu memang sangat nyaman dan hangat, pun menyuguhkan pemandangan yang akan membuat siapa saja tak akan bisa berpaling, hal itu lah yang akan membuat Erda semakin diam dan tidak dapat kemana – mana Errol terlalu indah untuk diketahui lebih dalam, ia sangat dalam dan luas. Erda tidak ingin melewatkan nya barang sedetik, dan seinci saja.

Burung – burung sudah tak terdengar suaranya, keadaan mulai gelap, namun Erda masih menikmati suasana itu. Errol seperti ada panggilan alam, ia bergegas berdiri, dan pergi ke arah sampannya, “Apa yang kau lakukan?” Erda mengikutinya dan berteriak, “Aku akan mengembara kembali, bulan depan waktunya saya untuk ke sebuah pulau di ujung dunia, saya harus menjenguk hewan peliharaan saya yang sudah memasuki masa kawin. Saya harus memastikan agar mereka tak punah, saya akan sangat lama disana, sampai bibit – bibit baru itu terlahir ke dunia” Errol tersenyum sembari memasuki sampannya. Erda tak kuasa membiarkan Errol pergi begitu saja,

“Dan kau tak boleh kemana – mana, ayolah aku sangat tidak suka perpisahan. Kau tau mengapa manusia – manusia suka sekali membuat kesalahan, mengapa mereka memilih bertemu walaupun pada akhirnya mereka tau ujungnya akan berpisah juga, apakah manusia memang suka membuat kesalahan Errol?” Erda menatap tajam mata Errol.Saya tidak akan bisa bercerita apapun lagi padamu jika saya berhenti disini, tidak ada pulau – pulau baru yang akan menggetarkan hatimu ketika aku menceritakannya, saya adalah pengembara, takdir saya mengembara, jadi tinggal adalah sebuah kesalahan, bukankah kau bilang tadi aku tidak boleh melakukan kesalahan dengan meninggalkanmu? Bagi saya tinggal adalah kesalahan, dan kembali mengembara adalah sebuah kebenaran. Kau harus mengerti” Errol mencoba menjelaskan dan mencoba mendayung sampannya.

Aurelia hanya tersenyum seperti biasa, “Sudah lah Erda, akan ku kenalkan kau dengan teman ku lainnya, semua juga menyenangkan” Aurelia mencoba menenangkan. Erda naik pitam, “Kau tak boleh atau kau akan tinggal selamanya denganku disini, dan kau akan menyesal karena tak punya harga diri sebagai pengembara lagi karena kau tak bisa mengembara lagi” air danau berdesir, burung – burung pergi berhamburan, Errol seketika menghilang, ia lenyap masuk ke lubang misterius. Erda sangat sedih, ia tidak bermaksud melenyapkan Errol. Aurelia tersenyum, “Ayo lanjutkan perjalanan”.

Aurelia dan Erda kembali melanjutkan perjalanan, belum juga terpikir akan kemana arah langkah, Aurelia bertemu dengan kawan lamanya di persimpangan jalan. Panggil saja dia Desider, seseorang yang selalu merasakan rindu teramat dalam. Pertemuan Aurelia dan Desider cukup haru, Desider memeluk Aurelia sangat erat dan lama, ia mengangis sedu sedan, bahagia karena barus saja bertemu dengannya untuk kesekian lamanya, Aurelia hanya pasrah sembari tersenyum dan menepuk – nepuk bahu Desider. Entah apa yang sebelumnya terjadi antara Aurelia dan Desider, pertemuan kala itu membuat mereka sangat senang dan gembira. Apakah memang manusia memang suka bersikap berlebih – lebihan semacam itu? Erda hanya diam tenang, ia tidak terkejut atau pun bingung.

Desider tidak ingin pertemuan itu hanya sebatas pelukan, ia mengajak Aurelia dan Erda ke gubuknya yang ternyata tidak jauh dari persimpangan. Mereka berjalan bersama memasuki hutan, dan sampailah mereka di bawah hutan pinus, di sebuah gubuk kayu yang tenang dan damai. Desider hidup sendiri di gubuk, ia menceritakan kehidupannya dengan Erda dan Aurelia sembari duduk di sebuah kursi kayu di depan gubuk ditemani secangkir teh hangat yang ia sangrai sendiri daunnya diambil dari kebun belakang rumahnya.“Saya sudah hidup sendiri sangat lama, sebelumnya saya hidup bersama Iris di gubuk ini, Iris adalah pelangi, ia sangat indah, aku sangat menyukainya. Tapi sayang, Iris memang tidak akan lama tinggal disini, ia selalu pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, Ia berpindah mengikuti Alpin, si cantik yang tak bisa diam. Aku selalu merindukan Iris. Selalu dan tidak akan berubah. Aku memang perindu, memangnya kenapa?

Apakah aku salah, apakah manusia tidak berpikir, untuk apa menciptakan rindu jika ia tidak mau memungutnya dan membawanya pergi bersamanya, kenapa harus meninggalkannya dan tercecer dimana mana, coba kau bayangkan Iris meninggalkan rindu dibalik jendela, di daun pintu, di kaca cermin, di bawah bantal, di sofa, di kayu kayu ini, dan di udara semua ini. Coba pikirkan apakah aku kuat memungut satu persatu rindu ini sendirian? Seharusnya Iris memahami bahwa aku perindu yang jahat, ia tidak boleh meninggalkan rindu begitu saja, aku sudah memiliki segudang rindu yang tidak akan ada habisnya, mengapa harus ditambahi lagi persediannya, apalagi rindu ini tidak bisa mati, mereka malahan beranak pinak, dan jumlahnya kian membludak” ketus Desider.

Erda hanya terdiam, ia teringat Errol. Erda mulai berpikir, dimana saja Errol meninggalkan rindunya. Mampukah ia memungutnya satu persatu – satu barangkali dengan bantuan Aurelia, seseorang yang tidak pernah mengeluh itu. Erda menatap lekat bajunya, adakah Errol meninggalkan rindu di bajunya. Erda mencium tangannya, adakah Errol menyematkan rindu pada sela – sela jarinya. Erda semakin kebingungan, bagaimana bentuk rindu itu. Desider mengagetkan Erda dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kau mencari rindu dari seseorang nun jauh disana?” Erda teridiam mengangguk. “Tanya pada hatimu, seberapa sakit saat kau mengingat wajah dan ucapannya, sebanyak itu rindu yang kau simpan di rongga dada mu” Desire menjawab nya dengan tenang.

Erda mencoba mengingat kenangannya dengan Errol ia merasa sangat sakit, entah apa itu, ia merasa tidak kuat ingin menjerit. Batinnya, inikah rindu, mengapa begitu menyakitkan. “Aku merasakannya, bagaimana cara menyembuhkannya, bagaimana cara mengambil rindu ini?” tanya Erda sembari menahan sakit. “Bertemu! Sudah! Tapi bertemu saja tidak cukup, kau akan merasakannya kembali ketika kau tak bertatap muka, walaupun kau sedang duduk bersama!” tawa Desire memecah. “Biadap! Kau membuatku sakit, enyah” Erda marah, tak kuat menguasai diri sendiri. Aurelia hanya diam, pohon pohon pinus bergoyang – goyang terkena angin besar, teh hangat di meja mendingin, Desire seketika hilang. Ia lenyap ditelah lubang misterius. Aurelia hanya tersenyum seperti biasa, Erda tetap tenang. “Mari lanjutkan perjalanan”.

Erda dan Aurelia berjalan cukup lama, dijalan ia selalu bertemu dengan sosok baru. Tapi entah orang – orang itu selalu saja menghilang ditelan lubang misterius. Dives si kaya yang mereka temui hilang setelah keangkuhannya yang ia tunjukan kepada Erda, kakak beradik Stultus dan Ferox pun menghilang ditelan lubang misterius. Stultus si bodoh yang mengikuti jalan Ferox seorang yang sombong, membuatnya terjerumus ke lubang hitam tak termaafkan, sudah bodoh sombong pula. Pertemuan mereka dengan Concetta dan Cordelia, membuat Erda naik pitam karena seluruh argumennya yang selalu disangkal dan tak dibenarkan, Concetta seorang pemikir, sedang Cordelia seorang baik hati yang selalu bergantung pada Concetta, dan banyak lagi orang yang datang kemudian hilang. Barangkali kini tersisa beberapa saja di dunia Erda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar