Selasa, 03 Desember 2019

Cerpen - sahabat yang amat peduli


Kereta melaju tanpa kendali, barangkali memang tak ada yang mengemudi lagi. Erda duduk termenung sendiri, tak ada siapun disini, ia hanya berteman sepi, kereta terus berjalan tanpa henti, sesekali Erda melongok isi kotak disebelahnya, apakah masih bercahaya ataukah sudah meredup. Terkadang ia ingin mengeluarkan isi kotak itu, tapi setiap kali ingin melakukannya ia selalu teringat kenangan – kenangan kelam. Hingga akhirnya Erda hanya diam, membisu membayangkan kehidupan indah yang baru saja lenyap ditelan pusaran hitam misterius miliknya. Erda tak merasa takut, ia bisa hidup sendiri tanpa banyak manusia menggauli, ia adalah mahluk soliter. Lamat – lamat Erda merasa matanya berat, ia memejamkan mata sejenak, dalam gelap ia bertemu kembali dengan banyak masa lalu dalam hidupnya.

Aurelia, adalah orang terakhir yang Erda temui di kursi yang ia duduki sekarang ini, Erda tak mengerti mengapa Aurelia juga ikut terhisap lubang misterius dan menghilang. Bukan kah Aurelia adalah kehidupan bahagia, mengapa hal membahagiakan juga bisa lenyap. Jahat betul lubang misterius itu. Aurelia adalah kunci ia bisa bertemu dengan manusia beragam itu, ia perkenalkan Erda pada kebahagiaan, tertawa, bahagia, tersenyum, berbagi, dan apapun itu yang berbau kesenangan. Aurelia, tak pernah tampak cemberut sedikitpun walaupun Erda sering mengeluhkan manusia – manusia itu menyebalkan. Aurelia adalah terbaik diantara yang terbaik. Tapi, mengapa ia juga harus lenyap dan masuk kedalam lubang misterius itu?

Waktu itu Erda sedang duduk di taman bersama Aurelia, pertemuan pertamanya dengan Andrias, ia adalah manusia polos dan tidak tau apapun ihwal dunia. Erda cukup terkesima melihat tingkah nya yang lugu, seringkali Andrias meminta ijin kepada Erda dan Aurelia hanya untuk tertawa di depannya, betapa sopannya ia? Hingga suatu ketika Aurelia memperkenalkan Andrias dan Erda kepada Aloha, manusia penuh cinta. Dibawanya Andrias oleh Aloha beberapa bulan ke luar kota, Erda dan Aurelia tetap setia menunggu kepulangan Andrias, tiap sore menjelang keduanya duduk di bangku yang sama, di taman itu.

Dari jalan kering, hingga basah, tertutup salju, sampai penuh sesak daun kering. Erda sangat menyukai daun kering yang jatuh berserakan di jalanan. Baginya, daun kering adalah substansi kehidupan, daun tidak akan bisa menolak untuk gugur dan jatuh. Sekuat apa pun melawan, jika pemiliknya menyuruh angin untuk menggugurkan, ia hanya bisa pasrah dan semua akan terjadi dengan indah. Erda mulai mengkhawatirkan Andrias dan Aloha, “Mengapa mereka tidak kunjung juga menyambangi taman ini Aurelia? Apakah mereka melupakan jalan pulang? Tidakkah kamu khawatir?”. Aurelia, si pemilik kehidupan bahagia hanya tertawa, “Bersabarlah Erda, semua akan baik – baik saja mereka akan pulang dengan selamat”.

Matahari mulai tenggelam, bentuknya lebih mirip seperti buah ceri merah merekah yang akan dimakan oleh raksasa yang bersembunyi di balik awan sana. Dari kejauhan Aloha berlarian bersama Andrias, mereka berhenti berada tepat di depan Erda. Keduanya tersenyum penuh cinta, Andrias tidak lagi ijin kepada Erda dan Aurelia, ketika ingin tertawa. Erda menatap mata mereka,”Kemana saja, dan kau Aloha, mengapa membawa pergi Andrias begitu lama, tak tau kah kau. Aku baru saja berteman dengannya. Kau tak boleh berbuat semacam itu” Erda cukup marah, wajahnya memerah.

“Jangan kau perlakukan Aloha semacam pencuri, matamu Erda, kau tak boleh melakukannya pada Aloha, ia tidak bersalah” Tukas Andrias dengan nada tinggi. Erda kaget, ada apa dengan Andrias, adakah rusak di bagian otaknya, karena bergaul dengan Aloha. Angin mengitari bangku taman, Aloha dan Andrias tiba – tiba lenyap tersapu dan menghilang, ia masuk ke dalam lubang misterius. Erda hanya diam. Aurelia tidak pernah membahas hal – hal yang membuat kehidupan menjadi rumit dan menegangkan. Seketika hal itu terlupakan begitu saja.

Erda dan Aurelia melanjutkan perjalanan, kali ini Erda ingin lebih tenang, Aurelia menyarankan untuk pergi ke sebuah danau di Ende. Mereka berjalanan beriringin. Sesampainya di danau mereka langsung duduk di atas rumput basah, ditemani semilir angin, dan kicauan burung Garugiwa yang memang tak banyak jumlahnya, burung berkepala hitam, dengan sayap dan ekor berwarna hijau, dan bulu bagian bawah tubuhnya agak kekuningan, serta paruh berwarna hitam bergaris putih dibagian tengahnya itu sangatlah nyaring bunyinya, Aurelia tak henti – hentinya menceritakan betapa menariknya Danau itu. “Akankah hari ini indah Aurelia?” ucap Erda dengan wajah cemas, Aurelia dengan senyumnya membalas, “Tentu sangat indah Erda, akan aku kenalkan kau dengan teman ku” katanya dengan rona wajah bahagia.

“Errol namanya, seorang pengembara, ia selalu datang ke danau ini setiap pagi. Lihatlah langit itu, jika warnanya mulai keemasan maka Errol akan datang dengan sampan dari balik aliran air disana, Erda kau harus bertemu dengannya, kau akan bahagia, diceritakannya perjalanan yang tak pernah kau lakukan sebelumnya, bulan ini ia sering ke danau ini Erda, ia sedang menuntaskan diri untuk mengenal air di danau ini, entah bulan depan, akankah ia berpindah lagi atau tidak, tunggu saja Erda” Aurelia bercerita dengan senyum nya yang mengembang, bak bunga evening primrose pada malam hari.

Erda sangat terkesan dengan tingkah air, “Air itu sangat tenang, ia akan berlari dari atas kebawah, betapa mulia dan rendah hatinya, ia juga tidak sombong, lihat ketenangannya, ia sangat dalam bahkan beberapa tidak akan mampu membuat manusia berpikir sampai berapa kedalamannya karena sangat tenang, aku ingin seperti air, walaupun ia sangat dalam dan bisa saja melumat nyawa yang tenggelam didalamnya tapi tetap tenang dan tidak menyombongkan diri. Kau tau Aurelia, air itu teramat hebat ternyata, ia memang tampaknya lemah, mengikuti arus tapi kau lihat batu keras di bawah air terjun, ia bisa saja pongah hanya karena ditetesi air berkali – kali tanpa lelah, lihat kau kelakuan tetesan air di dalam goa?

Ia bisa membentuk stalaktit dan stalakmit dengan indahnya,” Erda terus meracau tentang hebatnya air dimatanya. Erda mengeratkan giginya tiba – tiba, “Apakah itu Errol, Aurelia? Ia tampak tinggi dan menawan?” Aurelia hanya tersenyum, ia berjalan mendekati Errol, mereka berpelukan cukup lama, sangat lama, barangkali kerinduan menemukan tempat pulang. Memang apa yang lebih menyenangkan lagi daripada dua insan yang dilanda rindu kemudian bertemu. Erda hanya diam, mereka berjalan menuju titik temu, “Sudah disini saja, mari duduk” Aurelia membuka obrolan.

Erda cukup lama memandang Errol, sepertinya ia terkesima melihat tingkah Errol, tatapannya yang mengisyarakatkan masa depan luas bak samudera, tubuhnya yang tegap, lekuk tubuh dan wajah nya yang tanpa cacat, Erda tak henti henti nya memperhatikan. Errol tersenyum tak ada risih sedikitpun, ia mulai membuka mulutnya, ia bercerita, Erda mendengarkan dengan seksama sembari mengamati gerik bibirnya yang seperti buah strawberry masak, sangat merah, menyegarkan dan manis, “Aku baru saja bertemu dengan tiga warna danau kau lihat danau berwarna biru, aku sebut tiwu nuwa koo fai ia tempat jiwa – jiwa mudi yang telah meninggal.

Lihat sebelah sana danau yang berwarna merah, aku menyebutnya tiwu ata polo, ia tempat berkumpulnya jiwa jiwa orang yang telah meninggal dan selama hidup ia selalu melakukan kejahatan. Dan itu yang terakhir, yang berwarna putih, aku menyebutnya tiwu ata mbupu ialah tempat berkumpulnya jiwa – jiwa orang tua yang telah meninggal” Errol tersenyum tatapannya luas kedepan ke arah warna – warna danau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar