Selasa, 03 Desember 2019

Cerpen - Bukan Aku!


Aku terduduk dilantai. Wajahku menunduk. Mereka semua menertawakanku, yah mereka! Anak-anak bodoh yang hanya tau menindas kami yang lemah. Anak-anak pengecut yang hanya berani menunjukan kekuatannya pada kami yang lemah. Aku mengepalkan tanganku, menahan segenap emosi yang lama kupendam. “Hei! Lihat, tangannya !” Seru gadis dengan seragam pas badan, Risa.Seluruh kelas tertawa mendengar perkataan Risa. “Wah, mau melawan yah?” Ejek gadis dengan rambut berwarna coklat, Tania sambil menarik rambut panjangku yang sudah kusut. Aku merintih sambil berusaha menggapai tangannya yang berada dirambutku. Rasanya sakit sekali. Bukan, bukan sakit itu yang kumaksud. Tetapi, sakit yang ada dihatiku. Harga diriku terluka, harga diriku terinjak-injak oleh kaum sampah itu.

“Sakit?” Tanya Reva, ketua dari pelopor bully nomor satu disekolah.Aku diam. Aku memberanikan diri menatap mata yang selalu memandang rendah orang sepertiku. Aku mencemooh dirinya melalui tatapan. Aku tak lagi memperdulikan rasa sakit dikepalaku akibat rambutku yang masih ditarik oleh Tania. Aku melihat sedikit rasa kesal diwajah palsu Reva karena aku mulai melawannya. Akhirnya, dengan segenap keberanian, aku mencekal lengan Tania dan mencengkramnya sekuat yang aku bisa. Tania dan seisi kelas terkejut melihatku. Aku terus mencengkram lengannya hingga Tania melepaskan tangannya dari rambutku.

“Bagaimana rasanya?” Tanyaku pelan.“Dasar gila! Kau kerasukan, yah?!” Tania berteriak.Aku melihat lengan Tania yang memerah. Aku tersenyum kecil. Aku bangkit dan berdiri tegap. Tanganku merapikan rambutku sekenanya. Ketiga pembully itu terlihat sangat kesal. Sudah sejak lama aku berdiam saat orang-orang bodoh ini menindasku dan orang yang serupa denganku. Tapi hari ini, tidak lagi.“Kalian siapa?” Tanyaku  menatap Reva yang berdiri dengan tangan terlipat didada.“Si cupu mulai bicara!” Ejek Tania.“Kukira dia tidak bisa bicara,” Sambung Risa.

Aku menarik nafas perlahan, mataku berpendar keseluruh kelas yang tertawa karena ejekan yang dilontarkan Tania dan Risa padaku. Reva mengangkat tangannya, mengintruksi agar semua orang diam. Saat semua diam, aku kembali bersuara.“Kalian fikir, kalian hebat? Kalian fikir, kalian lebih baik dari kami yang lemah? Kalian fikir, dengan semua harta dan kelebihan yang kalian semua punya bisa membuat kalian merasa menjadi penguasa?” Aku menatap seluruh kelas yang tercengang dengan perkataanku. Tania, Risa dan Reva sebaliknya mereka justru memandang rendah diriku.

“Sadar diri, TEMPATMU bukan DISINI,” Reva duduk diatas meja tak jauh dari tempatku berdiri. “Anak beasiswa? Keluarga miskin? Gendut? Berkaca mata? Berbaju lusuh?” Reva turun dan menghampiriku. Dia berbisik ditelingaku. “Kau merusak citra sekolah ini!”BughSemua terkejut bahkan ada yang menjerit. Reva tersungkur karena aku mendorongnya dengan keras.“KAU TIDAK BERHAK MENGATAKAN ITU PADAKU!” Teriakku kalap. “KALIAN HANYA SAMPAH! JUSTRU KALIAN YANG TIDAK PANTAS BERADA DISINI!” Sambungku.Aku melihat mereka mulai merekam kejadian ini dengan kamera ponsel pintar mereka.

Aku tidak perduli lagi! Sudah cukup, apa yang salah dariku? Hanya karena aku masuk sekolah ini karena kepintaranku? Hanya karena aku terlahir dari keluarga miskin dan fisikku yang tidak seindah mereka? Apa karena itu mereka semua membedakanku? Aku mendengar bisik-bisik. Rasanya aku ingin menangis. Bukan kemauanku memiliki semua kekurangan ini, tapi kenapa mereka begitu jahat padaku?Reva berdiri dibantu oleh Tania dan Risa. Dia mengusap sikunya yang mungkin akan memar karena cukup keras menghantam sudut meja yang tumpul.“sialan!” Desis Reva. “Pegangi dia!” Titahnya kemudian.

Tania dan Risa berjalan kearahku. Mereka meraih kedua tanganku dan mencengkramnya dengan sangat keras. Aku berontak, mereka cukup kewalahan. Tapi, tangan mereka tetap berada dilenganku. Reva mulai mendekat. Aku menarik nafasku, mengumpulkan keberanian dan,“Arghh!!” “Awhhhh!!”Aku menggigit lengan Tania dan Risa bergantian. Cengkramannya terlepas. Aku marah! Aku mulai menyerang mereka bertiga secara bergantian dan seisi kelas hanya menonton dan merekam tanpa berbuat apa-apa. Aku menarik rambut mereka, memukul mereka sambil meneriaki merekan dengan kata-kata kasar yang sering dilontarkan padaku.

“ADA APA INI?!” Aku berhenti saat mendengar teriakan itu. Nafasku naik turun. Mereka bertiga berjalan tertatih menuju sumber suara. Aku menatap nanar lantai tempatku berpijak.“Dia!” Tunjuk Reva padaku. “Dia menyerang kami, bu. Lihat!”Aku menggeleng sambil menatap wajah guru BK yang kini menatapku tajam. Bukan! Bukan aku!“Dina! Ikut saya sekarang!” “Bu, tapi mereka yang salah, bukan aku!” IKUT SAYA SEKARANG!” Teriak Guru BK itu tanpa mau dibantah.Dan disinilah aku. Diruang guru juga ada kepala sekolah. Aku duduk ditengah diantara para guru. Seperti terdakwa yang menunggu putusan hakim.

Aku hanya diam dan menunduk mendengar semua omong kosong yang diucapkan oleh para sampah sekolah itu. Aku ingin berteriak pada mereka semua bahwa bukan aku pelakunya. Bukan aku orang jahatnya. Tapi mereka!“Saya tidak menyangka bahwa kamu bisa berbuat senekat itu,” Kepala sekolah angkat bicara. “Bukan aku, pak!” Ucapku pelan.“Dina, tapi itu yang terjadi, sebaiknya jangan mencoba membela diri lagi,”Aku menggeleng. “sekolah ini punya CCTV disetiap kelas, kenapa kalian lebih percaya mereka?”Aku menatap kepala sekolah dengan mata yang mulai memerah. “Pak! Saya korbannya! Saya!

Mereka menghina saya, mereka jahat pada saya tapi saya yang mendapat hukuman?”Kepala sekolah terdiam. Beliau menghela nafas tanpa mau menanggapi pembelaanku.“jadi, bagaimana keputusannya?” Tanya kepala sekolah pada semua guru.“Angkat kaki dari sekolah ini,” Aku tertawa miris. Sudah kuduga, ini akan terjadi. Mentang-mentang donatur terbesar, mecat siswa sembarangan. Aku tidak lagi mendengar apa yang selanjutnya mereka katakan. Aku diam bagai patung ditengah persidangan. Kulihat ketiga sampah itu tersenyum mengejek. Lucunya! Aku yang terbully malah menjadi seorang pembully.

Aku yang menjadi korban, tapi aku diperlakukan seakan akulah tersangkanya. Aku melirik dari ekor mataku, ada sebagian guru baik hati yang tidak bisa berbuat apa-apa karena takut bernasib sama sepertiku bila mereka melawan yang berkuasa. Dan aku hanya bisa pasrah bila sudah begini. Tanpa permisi, aku melangkah pergi dari ruang laknat ini. Langkahku terhenti diambang pintu. Aku berbalik, menatap semua orang yang berada disana bergantian dan terakhir aku menatap sang penguasa sekaligus ayah dari pembullyku, Reva.“Bukan aku, pak!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar