Selasa, 03 Desember 2019

Cerpen - Di setiap langkah ku temukan seluruh kebencian


Kinanti menyisir pelan rambutnya, sesekali wajahnya mengerutkan dahi. Ia tertawa kecil dan mukanya menjadi muram tatkala melihat senyum manisnya. Dibalik cermin itu, ada seorang wanita yang selalu saja mengajaknya bersiteru.“Lagi –lagi kamu datang, mau apa lagi? Mencercaku, menghujatku? Aku sudah lelah”“hahahha, dasar tetap  tidak dapat berubah, masih saja diam disana.  Pengecut memang” dia muncul lagi, wajahnya tetap sama. Kulihat kesempurnaan dirinya. Ia melenggak-lenggok membuatku kesal.

Aku berlari sekuat tenaga, meninggalkannya. Di setiap langkah ku temukan seluruh kebencian yang selama ini bergelayutan menghantam tubuhku. Surat kecil itu masih tersimpan rapi di saku baju. Sepucuk surat berwarna hitam, dengan tinta putih yang menyala-nyala mengisyaratkan betapa begitu kelam isinya. Dibungkusnya dengan daun coklat berurat dan memiliki empat ruas jari-jari, tidak membuatnya semakin menarik melainkan ingin di buang saja. Namun, enggan. Dan satu lagi surat dari ibu aku  amankan di kantong celana, tak akan ku buka sebelum tiba waktunya.

Kaki ku terseok – seok, semua orang di jalan membodoh-bodohi ku. Mereka meneriaki ku seolah – olah aku ini tidak pantas hidup di dunia, memang dunia ini hanya milik mereka. Dan aku wanita tak tau diri, harus enyah dan menghilang digerus jaman.Dan aku terus berlari, para bocah kecil itu mengitariku. Mereka membawa bunga mawar merah, kita bernyanyi dan terus bernyanyi sepanjang perjalanan. Salah satu diantaranya bergelayutan di kakiku dan tiba-tiba ia menghilang, semua kawannya pergi. Tinggal aku sendiri dengan tangkai –tangkai mawar merah yang mulai menghitam berjatuhan tepat dibawah kaki ku.

Sepi dan sepi, kaki ku masih kuat berlari di depan kulihat sebuah pohon besar dengan akar nya yang kuat mencekeram bumi. Beberapa daunnya berwarna hijau rindang meneduhkan siapapun yang berada di bawahnya. Aku berlari sekuat tenaga sampai dibawahnya. Tubuhku duduk merebah. Hangat sekali disini, anginnya menyisir pelan bulu – bulu tangganku. Aku menghela nafas panjang, beberapa kupu – kupu bercengkrama di depanku. Mereka baik, tak menggangguku.

Kupu – kupu itu jatuh berhamburan, daun daun kering itu menimpa nya. Sayap sayap itu seketika lumpuh, telinga ku seakan mendengar jeritan-jeritan kesakitan. Mereka menangis, mataku mendongak ke atas, pohon rindang itu telah tiada, daunnya jatuh berguguran, menewaskan kupu –kupu cantik kawan baruku. Tanganku meremas surat bertinta putih. Genggamanku melemas, mengapa pohon saja tak ingin berkawan dengan ku, bahkan kupu – kupu yang menyenangi ku dia musnahkan.
Aku menangis, keras dan semakin keras. Aku berlari tak tau sampai mana. Seakan melayang dijalanan, tubuhku terombang-ambing terbawa angin. Angin membawaku pergi jauh, semakin jauh, tak ada seorang pun yang tahu. Mata ku tertutup. Aku terlena, isak tangis masih keras terdengar. Tangan ku menghapus bulir-bulirnya. Aku tak ingin air mata itu jatuh sampai ke kaki, ia akan menambah sakit. Basah telah mengguyur seluruh tubuh. Bukan karena hujan, ataupun cairan dari mata yang sayu. Tanganku kedinginan, mata ku terbelalak, aku telah hanyut di aliran sungai, ia tak mempunyai arus. Namun aku hanyut hingga jauh dan semakin jauh, ke dalam dan semakin dalam.

Aku tak bisa bernafas, tanganku menyentuh dasar sungai. Aku duduk, tubuhku membiru, tanganku masih erat menggegam surat hitam, kini ia bercampur lumpur. Ku harap ia rusak, agar lenyap. Hingga aku tak akan membukanya. Maka aku punya banyak  alasan untuk membuangnya.Suhu tubuh mulai turun drastis, bibrku kelu, tak dapat berbicara. Aku ingin berteriak, badanku tak dapat bergerak, kaki kiri tenggelam didasar lumpur. Mengakar dan mustahil diangkat. Hewan-hewan kecil mulai menggeliat menggerogotinya, aku tak peduli. Hingga cahaya matahari menyentuh tepat ubun-ubun ku. Sungai ini mengering. Air mata ku ikut mengering. Tak ada air, hilang, sepi, senyap. Aku terkoyak sepi.

Berjalan lebih jauh, tertatih dan tak tau arah. Aku duduk diatas tebing, tak ada jalan lagi didepan. Tanganku masih erat memegang surat itu. Dengan berat hati kuberanikan diri, membuka dengan perlahan. Sebuah surat cacian makian tentang kehidupan. Kudapati kenyataan pilu dan menyedihkan disetiap baitnya. Puisi demi puisi menjalar diseluruh ruang tempat itu. Tiap baitnya tak lagi indah, sastra memang tak melulu soal, cinta dan kebahagiaan dunia. Tiap katanya, mampu menggores kulit. Hingga ku sadar dan semakin sadar. Aku hidup di dunia dengan segala keadilannya. Dunia dengan semua keniscayaan yang manusia buat sendiri. Dan aku bukan lagi bagian dari mereka. Aku tersisih dan tak akan boleh kembali memasuki ruang bahagia.

Kinanti masih meraba – raba tinta putih itu, kata demi kata berhamburan melayang. Menyentuh ke langit, berharap para malaikat membaca jerit tangisnya. Ia menjerit kesakitan. Tubuhnya menolak diam. Dia terhempas jatuh kedasar jurang. Kinanti terdasar, pipinya basah. Ia menangis sedu sedan, raungannya semakin keras tatkala melihat kaki nya, “Dasar Buntung!”, jeritnya memaki diri.Kinanti menjerit memaki diri sendiri, “Gara-kara kau ini, buntung. Sekarang aku kehilangan pekerjaan. Kehilangan kawan, bahkan kekasih ku meninggalkanku. Kau ini tega sekali padaku”

Sejak kecelakan silam, Kinanthi mulai mengurung diri. Semua akses komunikasi dia matikan. Ia mengurung diri dan merutuki nasib. Semua kawannya bukan pergi melainkan ia tak ingin lagi dikenali.Kinanthi naik pitam, dibawanya pisau yang sedari tadi telah ia siapkan. Dengan berat hati ia ayunkan ke tangannya.“Biar langsung kena urat nadi, biar langsung mati, biar sudah cukup penderitaan ini. Aku sudah tak peduli. Dan kalian semua tak bisa lagi mentertawakanku”
Ia bercermin, berbicara pada kawannya dibalik cermin,

“Hei kau lihat, aku akan membinasakan diriku. Dan kau juga akan hilang! Kau siap. Lihat mulut pisau ini sangat tajam. Kau jangan takut. Aku akan cepat melakukannya” ia tetap menjerit menangis.
Tanggannya mengayun  indah,mulut pisau seakan sudah menemukan mangsanya. Ia terlihat tersenyum melihat urat nadi yang sangat pasrah dihadapnnya. Saat mulutnya menyentuh kulit Kinanthi. Tiba – tiba sebuah surat jatuh ke dasar lantai. Kinanthi berhenti tanpa melepaskan pisau tajam ditangannya.Sebuah surat dari ibunya,  untukmu permataku yang selalu ku kasihi yang selalu ku cintai dengan sepenuh hati

Untukmu yang tercinta yang selalu ku jaga buatlah aku bangga dengan indah lakumu besarlah dengan mimpimu jagalah selalu dirimu bahagia dengan hidupmu doaku kan selalu mengikutimujaga kehormatanmu seperti ku menjagamu saat nanti ku pergi ingat selalu pesanku besarlah dengan mimpimu jagalah selalu dirimu bahagia dengan hidupmu doaku kan selalu mengikutimu besarlah dengan mimpimu jagalah selalu dirimu bahagia dengan hidupmu doaku kan selalu mengikutimu jangan pernah engkau takut hadapi cerita hidupdengarkan kata hatimuselimuti kisahmu dengan cintaMedan, 16 Februari 2000 00:00/ Kinan

Bulir-bulir air terkucur dari mata Kinanthi, ia telah kalah dengan surat itu. Pikirannya melayang mengingat saat –saat indah bersama ibunda tatkala ia masih hidup di dunia. Kinanthi menjerit kesakitan, pisau ditangannya ia lempar menghantam tembok. Ia menangis sekencang-kencangnya. Tak ada yang berani mendekat. Ia merebah terjatuh di atas kasur kamarnya. Matanya terpejam ia tetap menangis. Di dengarnya sayup-sayup suara seorang wanita.Tak lelo lelo lelo legongCep meneng ojo pijer nangisAnakku sing ayu rupaneYen nangis dek ilang ayune Ia tersenyum, “Ibu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar