Selasa, 03 Desember 2019

Liburan di pulau dewata bali yang bikin kangen


Siapa yang tidak tahu pulau dewata alias bali. Saya kira semua orang Indonesia mengetahui pulau yang satu ini. Bahkan dikalangan orang luar negeri, pulau bali lebih terkenal dari negara Indonesia. Keindahan pulau Bali memang sudah mendunia. Tentu saya juga ingin mengunjunginya sedari dulu. Hingga akhirnya saat SMA saya bisa pergi ke bali ketika study tour. Sebenarnya waktu itu dilakukan voting untuk untuk tujuan study tournya. Terdapat beberapa pilihan yang disediakan pihak sekolah, diantara kandidat yang kuat adalah Lombok dan Bali. Untungnya Bali yang terpilih sehingga mimpi saya untuk ke pulau Bali pun terwujud. Maka kali ini saya ingin sedikit menceritakan mengenai perjalanan saya ke pulau dewata tersebut.

Siang itu saya diantarkan oleh kakak ke sekolah. Saya lihat sudah ada banyak bus yang terpakir di depan sekolah. Saya pun menaruh barang bawaan saya di bagasi dan segera berkumpul dengan teman-teman yang lain. Setelah menunggu beberapa waktu, kami pun masuk bus dan memilih tempat duduk. Saya dan seorang teman yang akan duduk dengan saya sempat kebingungan untuk memilih. Hingga akhirnya keduluan teman yang lain dan akhirnya hanya tersisa satu tempat duduk. Tempat itu adalah tempat yang tidak enak karena posisinya yang berada di samping pintu. Ketika bus berhenti, otomatis kita harus berdiri karena dipakai untuk keluar.

Meskipun duduk di tempat yang kurang enak, saya tetap menikmati perjalanan. Apalagi kami sempat bermain kartu di dalam bus. Sangat seru waktu itu. Pemandangan di perjalanan pun sangat indah. Apalagi ketika malam hari kami sempat melewati sebuah tempat yang sangat indah, becahaya, di Jawa Timur. Kalau tidak salah tempat itu merupakan tempat pembangkit listrik. Saat itu semuanya sudah tertidur, termasuk saya. Teman yang duduk di saming saya membangunkan saya ketika melewati tempat tersebut. Ternyata dia menunjukan tempat yang sangat indah malam itu. Kemudian tak lama kemudian kami sampai di pelabuhan. Dan inilah pertama kalinya saya naik kapal.

Hingga keesokan paginya kami akhirnya tiba di Bali. Saya sudah lupa bagaimana urutan paiwisata kami. Untuk itu saya akan menceritakan beberapa tempat yang masih saya ingat dan sangat terkenang. Untuk yang pertama tentu saja pantainya. Yang pertama saya lupa namanya karena saat itu kami sangat dibatasi di pantai itu. Selain itu masih ada empat pantai lagi yang kami kunjungi. Tetapi yang paling memiliki kenangan adalah pantai pandawa dan pantai kuta.

Pantai pandawa sangatlah indah dengan pasir putihnya yang sangat panjang. Semilir angin menemani kami menikmati pantai pandawa. Meskipun sebenanrnya sangat enak untuk bermain air namun kami tidak diperbolehkan karena rombongan akan segera ke pantai kuta. Kemudian kami pun ke pantai menjalang saat menjelang sore hari. Kami bermain ari dan bermain pasir saat itu. Sangat menyenangkan menghabiskan waktu bersama teman baik apalagi ditemani dengan sunset yang sangat indah.

Selain pantai, tentu ada tempat lain yang kami kunjungi, diantaranya adalah pasar seni sukowati, menonton pertunjukan tari serta GWK atau garuda wisnu kencana. Ketika sampai di GWK saya sangat terkesan dengan besarnya patung GWK. Tempatnya pun sangat menyenangkan untuk berwisata. Adapula tempat yang sebenanrnya akan kami kunjungi namun dibatalkan. Tempat itu adalah Pusat Peribadatan Puja Mandala, dimana di tempat tesebut terdapat lima tempat ibadah yang berdiri berdampingan.

Setelah berwisata tentu tidak boleh melupakan untuk membeli cenderamata. Tak banak yang saya beli, hanya membeli untuk keperluan saya saja. Saya membeli dua kaos joger, satu celana pendek dan satu sandal joger. Saat ini, sandalnya sendiri sudah hilang. Sediah saat kehilangannya. Dan celananya juga sebenarnya sedikit kebesaran karena waktu itu terburu-buru saat memilihnya. Selain barang-barang yang saya beli di joger tersebut, saya juga membeli pie susu khas Bali. Rasanya sangat enak hingga saat ini masih ingin merasakannya lagi.Itulah sedikit cerita mengenai perjalanan pertama saya ke Bali. Hingga saat ini belum tercapai untuk kembali lagi ke Bali. Semoga saja saya bisa segera kembali ke Pulau Dewata lagi.

MY GUARDIAN GHOST


Aku masih mengingat dengan jelas saat ayah mengatakan padaku bahwa aku akan memiliki ibu tiri dan dua saudara tampan yang gagah dan berani. Aku bahagia. Dan aku juga ingat perkataan ayah bahwa dua saudara tiriku mampu menjagaku kelak. Namun, ekspektasi memang tak seindah realita. Soal ibu tiriku, dia memang baik hati mirip seperti sifat almh. Ibuku, tapi tidak dengan kedua anaknya. Mereka tidak lebih dari pria brengsek dan berotak selangkangan.“hah, kenapa hidupku jadi seperti ini?” gumamku miris. Aku tidur terlentang sambil menatap langit-langit kamarku yang bernuansa serba putih. Dua kakak tiriku itu memang tampan, gagah dan berani seperti kata ayah, tapi ada satu hal yang ayah tidak katakan padaku atau mungkin ayah tidak tau bahwa sifat brengsek dan mesumlah yang mendominasi mereka.Tok Tok Tok

Aku tersentak saat mendengar suara ketukan pintu. Aku menatap pintu kamarku cukup lama. Aku memang selalu mengunci kamarku saat sedang berada dikamar, itu semata-mata aku lakukan agar kejadian saat kakak tiriku menerobos masuk dan hendak melecehkanku tidak terulang kembali.“siapa?” Tidak ada jawaban. Aku mengernyitkan dahiku bingung.Tok Tok TokAku menelan ludahku susah, aku bangkit dan turun dari ranjang dengan perlahan aku melangkahkan kakiku menuju pintu kamarku.‘siapa?” tanyaku sekali lagi. Dan tetap tidak ada jawaban. Aku memutar knop pintu perlahan.“hah?”

Saat aku membuka pintu tidak ada siapapun, padahal aku yakin sekali ada yang mengetuk pintu kamarku. Oke ini sedikit menyeramkan, sejak kapan rumah ku, eh ralat rumah ayahku ini berhantu. Saat aku melihat sekeliling kakiku merasa menginjak sesuatu.“eh?” aku mengambil benda itu, ternyata sebuah kalung berbandul segitiga yang ditengahnya ada lambang untuk gender laki-laki. “kalung yang....aneh,” aku meneliti kalung itu. “tapi, juga unik. Kira-kira ini punya siapa yah?”Aku mengendikkan bahu acuh lalu masuk kekamar. Aku membanting tubuhku kekasur sambil menatap kalung aneh yang baru aku temui.“oke, sudah diputuskan kalung ini menjadi milikku.” Lalu aku memakai kalung itu dan mengambil posisi untuk tidur.Pagi hari yang tidak lagi damai..“feli!!! Buka pintunya!!! Fel!!”

Aku terlonjak bangun saat mendengar suara gedoran pintu dengan kasar. Aku mengusap wajahku frustasi. “pasti minta bikinin sarapan,” gumamku sambil menatap malas pintu kamarku yang tertutup rapat.“lalu apa gunanya para pembantu dipekerjakan dirumah ini?!” “iya ka!”“cepat bangun, aku lapar siapkan sarapan!!” titahnya dari luar.“hmm,” balasku dengan deheman keras. Aku bersiap, setelahnya aku turun kebawah. Aku melengos begitu saja begitu melihat kakak tirku sedang duduk dimeja makan sambil memainkan ponsel mereka.“aku ingin roti bakar selai coklat dan kacang.” Ucap Axel.“aku juga ingin roti bakar selai kacang dan strawberry.” Ucap Devan.“Dan gak pake lama!!” seru mereka bersamaan.Aku meniup poniku. “iya.”

Aku segera menyiapkan pesanan mereka. Dengan cepat dan tidak pakai lama tentunya. Saat menunggu roti matang, aku berjengit kaget saat ada sepasang tangan yang cukup kekar meemelukku dari belakang. “ka lepas!!” pintaku sambil berusaha mengurai tangan dipinggangku.“berisik! Udah kamu bikin aja rotinya, gak usah banyak protes.” Ucap ka Axel. Dan saat ka axel akan berbuat yang lebih jauh lagi, tiba-tiba saja...duk“awh!” ka axel berteriak saat tiba-tiba saja kepalanya tertimpa toples kaca.Aku mengernyit heran, bagaimana bisa toples kaca itu menimpa kepala ka axel. Dengan panik aku menghampiri ka axel. “ka axel!” Aku duduk termenung di atap sekolah. Aku masih memikirkan kejadian tadi pagi.“kok bisa yah? Apa sekarang rumah ayah ada hantunya, masa gak ada angin gak ada hujan toples bisa jatuh sendiri.” Kataku sambil menatap langit biru.

Tiba-tiba aku teringat dengan kalung aneh yang semalam aku temui. “ini kalung siapa yah?” aku mengusap lambang kalung itu pelan. “itu kalung milikmu,” Tubuhku menegang saat mendengar suara berat pria. Aku melihat sekeliling dan tak mendapati siapapun selain aku disini. “setelah rumahku eh rumah ayah yang berhantu, sekarang sekolah ini juga berhantu begitu?” aku memeluk diriku sendiri dan melihat sekeliling dengan was-was.“kamu jangan takut, aku gak gigit kok,”Dan seketika aku berteriak histeris lalu berlari menuju pintu, tapi tiba-tiba saja pintunya tertutup sendiri. Aku panik.“ya tuhan lindungi aku dari godaan setan terkutuk.”

Doa ku sambil berkomat kamit tidak jelas. Aku menutup mataku berdoa meminta keselamatan pada tuhan, dan saat aku membuka mataku kembali,“huaaaa!!” teriakku kaget sambil berjalan mundur. Bagaimana tidak? Saat aku membuka mata akumelihat wajah pria manis berada dalam jarak dekat dengan wajahku.“siapa kamu? Jangan ganggu aku. Aku anak baik-baik,” “kamu takut sama aku? memangnya aku menakutkan ya?” tanya pria itu dengan memiringkan kepalanya.“kamu manis kok,” ucapku tanpa sadar.Dia tersenyum manis. “nama aku Reynand,” Aku masih menjaga jarak dengannya. Ini gila aku berbicara pada..... arwah.Hah arwah?!!“huaa, kamu makhluk astral!!” teriakku lagi saat aku melirik kearah kakinya yang mengambang alias tidak menapak ditanah.

Reynand memutar bola matanya. “aku bukan makhluk astral tau, aku makhluk hidup yang kontrak hidupnya sudah habis,” “sama saja!” ucapku dengan nada sedikit menyentak.Reynand terbang mendekat. Hah? Terbang?“ka-kamu bi-bisa ter-terbang?!” tanyaku tergagap.“tentu saja aku bisa, aku bisa melakukan apapun yang aku mau,”Aku terus berjalan mundur saat Reynand terus mendekat kearahku.“kalau kamu terus mundur-mundur seperti itu, kamu akan terjatuh nanti.” Kata reynand mengingatkan.

Aku teringat sesuatu. “kamu ingin kalung ini kan?” tanyaku, lalu dengan gerakan cepat aku melepas kalung aneh itu. “ini aku kembalikan padamu, kamu jangan ganggu aku lagi.” Aku menyodorkan kalung itu pada Reynand.“kalung itu milikmu, cia. Itu kalung pemberian ibumu, dan aku ditugaskan untuk melindungimu sampai kamu merasa bahagia dan hidup dengan tenang.” Aku duduk dikursi belajarku dan menatap Rey yang asik beterbangan kesana kemari dengan seksama.“jadi, kamu yang nyelamatin aku waktu ka Axel melecehkan aku?” tanyaku.

Rey mengangguk. “sebenarnya sudah lama aku memperhatikanmu dan menjagamu dari jauh tanpa mau menampakkan diri, tapi semakin hari aku merasa kamu cukup menderita akibat kemesuman kakak tirimu itu jadi, aku memutuskan untuk menampakkan diriku padamu dan melindungimu secara terang-terangan tanpa bersembunyi lagi.” Jelas Rey panjang lebar.“tapi aku masih penasaran denganmu, bagaimana bisa kamu mengenal ibuku dan menjadi pelindungku?”Rey dengan tiba-tiba berdiri disebelahku. “ini akan jadi cerita yang panjang, kamu yakin mau dengar?”Aku mengangguk. “baiklah. Jadi, begini ceritanya.

Waktu itu aku sedang mengendarai motorku menuju kampus tapi saat di perjalanan aku mengalami kecelakaan, dan ibumu menolongku. Kalau saja pada saat itu aku tidak ditolong oleh ibumu mungkin aku sudah mati.” “lalu kamu mati karena apa?”“aku sangat berterima kasih pada ibumu,”Aku mendengus saat reynand tidak menjawab pertanyaanku.“pada saat itulah ibumu memintaku menjagamu dan aku menyetujuinya.” Kata reynand.“jadi, kamu sudah menjagaku sejak kamu masih punya kontrak hidup?” aku menganggukkan kepalaku mengerti. “lalu?”“awalnya aku juga bingung kenapa ibumu mempercayaiku untuk menjagaku padahal kami tidak saling mengenal. Lalu ibumu memberi tahuku semua tentang dirimu. Semuanya. Dan selama beberapa hari setelahnya ibumu meninggal.”

Aku menangkap nada sedih dari ucapannya. “dan beberapa bulan setelah ibumu meninggal, aku pun meninggal.”“ibuku meninggal kurang lebih 2 tahun yang lalu, itu artinya kamu juga meninggal 2 tahun yang lalu?” Reynand mengangguk. “aku meninggal karena terpeleset kulit pisang,”Aku membulatkan mataku lalu sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak.“hah, kamu mati karena kulit pisang? Itu artinya kamu mati konyol, dong.” Ucapku saat tawaku mereda“apa yang kamu tertawakan, kematianku itu sama sekali tidak lucu tau.” Ucap rey merajuk.

“kamu selamat dari kecelakaan tapi kamu meregang nyawa karena kulit pisang, hahahaha percayalah itu konyol rey,” “aku terpeleset di pinggir trotoar dan aku jatuh kedepan bersamaan dengan itu mobil melintas dan begitulah..” rey mengangkat bahunya acuh. Aku manggut-manggut sambil berusaha mengontrol tawaku.Ternyata rey tidak seburuk yang aku pikirkan. Sebagai hantu dia cukup manis dengan memiliki badan yang bagus dan proporsional.Aku memukul-mukul bahu ka Devan yang hendak menciumku, saat aku sedang tertidur aku lumengunci pintu sehingga ka Devan dengan seenak jidat menerobos masuk dan melakukan perbuatan yang ‘iya-iya’padaku.

“Ayah tolong!! Ayah!!” “ayah sedang pergi, bodoh! Sudah gak usah banyak omong, kamu mau aku panggil ka Axel juga, heh?” ancam ka Devan. Aku menggelengkan kepalaku. Air mataku mulai menetes. Dan dalam hati aku memanggil nama Rey.Aku memejamkan mataku dan tak berapa lama aku tidak merasakan berat tubuh ka Devan. Saat aku membuka mata, aku melihat ka Devan sudah terkapar pingsan dilantai.“maaf terlambat, kamu gak papa, kan?” tanya Rey dengan khawatir. Aku menggeleng lalu bangun dan hendak memeluk Rey, namun tidak bisa.Rey memandang sendu diriku. “Aku arwah, kamu lupa ya?”

Aku tersenyum miris. “aku lupa, rey. Omong-omong apa yang kamu lakukan dengan ka Devan?”
Rey tersenyum misterius. “Rahasia.”“dasar setan menyebalkan!” cibirku.Sejak kejadian ka Devan yang gagal dalam melancarkan aksinya, mereka jadi semakin gencar. Dan puncaknya pada malam itu. Malam paling mengenaskan sepanjang sejarah hidupku. Aku sedang membuat sarapan seperti biasa untuk kakak tiriku yang tampan tapi mesum kuadrat. Dan saat sedang membuat sarapan, tiba-tiba saja mulutku dibekap dari belakang dan seseorang yang aku tau itu ka Axel membawaku menuju kamarnya.

Aku memberontak tapi percuma. Kulihat dikamar ada ka Devan juga.“matilah aku,”batinku panik.“ya tuhan tolong aku. rey tolong aku.”“mampus, sekarang siapa yang mau nolong kamu.” Ucap ka Devan.Ka Axel melemparku ke kasur dan bersamaan dengan itu lampu mendadak padam.“pake mati lampu segala lagi,” kata ka Devan kesal.“ayah belum bayar listrik apa sampe listrik kita dimatiin?!” kata ka Axel. “pemikiran macam apa itu ka,”Dan mendadak suasana hening. Aku tidak mendengar suara lagi. Tubuhku bergetar ketakutan. Lalu lampu menyala kembali dan aku melihat Rey berdiri dengan wajah mengeras karena emosi. Pandanganku kemudain beralih pada ka Devan dan ka Axel yang terkapar pingsan dilantai.

“Rey!” panggilku lirih. “aku.....takut.”Sedetik kemudian aku merasakan aura dingin melingkupi tubuhku, aku mendongak dan mendapati Rey sedang memelukku.“ka-kamu bi-bisa me-melukku? Ki-kita bisa bersentuhan?”tanyaku pelan.“aku bisa memelukmu dan menyentuhmu, tapi kamu tidak bisa.”“kenapa?”“takdir mungkin,” Rey tertawa pelan. Dia mengusap rambutku dengan sayang. Keesokannya, aku mengadu pada ayah dan ayah langsung mengasingkan mereka ke luar negeri untuk sekolah disana. Ibu tiriku juga tak kalah murkanya dengan ayah. Dan hari itu aku bisa bernafas lega karena penderitaanku sudah berakhir.

Genap setahun kejadian itu terlewat. Aku bahagia. Tapi, disatu sisi aku juga sedih. Rey menghilang begitu saja, dia menghilang tanpa sepatah katapun terucap. Dan setelah itu, aku jadi sering pergi keatap sekolah hanya sekedar berharap bisa bertemu dengan Rey. “Rey!” aku menundukkan kepalaku, tak terasa air mataku menetes. Aku menangis. Aku menangisi arwah.“dasar cengeng!” Aku tersentak kaget dan mendongakkan kepalaku. “REY!!” pekikku senang. Rey tersenyum manis. “merindukanku yah?” goda rey sambil tersenyum jahil.Aku mengangguk malu-malu.

Tau-tau Rey sudah ada didepanku dan mengelus rambutku dengan sayang.“aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal.” Kata Rey pelan.Aku terdiam sesaat. Aku baru ingat, dia punya misi untuk menjagaku dan membuatku bahagia tapi aku tidak tau bahwa setelah itu dia akan meninggalkanku.“kita tidak akan bertemu lagi, yah?” tanyaku dengan suara parau.“tugasku sudah selesai, cia,” Rey tersenyum. “aku harus pergi, pergi ketempat dimana seharusnya aku berada.”“apa aku harus menderita dulu supaya kamu tidak pergi?” Rey menggeleng. “kamu nyiksa aku kalau gitu,”“jangan pergi,”

Aku merasakan tangan dingin mengusap pipiku yang basah karena air mata.“aku harus cia, masaku di dunia ini sudah berakhir dan misiku pun sudah selesai. Jadi....aku harus pergi.” “kalau aku bilang aku sayang sama kamu, kamu bakal tetep disini?” Rey menggeleng. “aku juga sayang sama kamu, cia. Bahkan perasaan ini muncul sejak lama, sejak aku masih bernafas bahkan saat nafas ini sudah berhenti aku masih menyimpan perasaan ini.”Tangisku makin menjadi. Tubuh Rey berangsur transparan dan sentuhan tangan dinginnya dipipiku perlahan memudar“sudah saatnya, cia.”

Aku menggeleng sambil terisak, berusaha menyentuh Rey tapi tidak bisa.“Terima kasih sudah pernah hadir dihidupku dan memberikan warna pada hidupku baik sebelum dan setelah kematianku. Aku bahagia bisa menjadi pelindungmu meski hanya sesaat. Jangan lupakan aku, cia. Selamat tinggal.” Kata Rey. Dan Rey benar-benar lenyap dan menghilang.“Rey..... terima kasih juga telah menjadi pelindungku, menjagaku dan menyayangimu. Aku berjanji tidak akan melupakanmu. Selamat tinggal.” Aku menyentuh kalung dileherku dan tersenyum.2 tahun kemudian...Aku melangkahkan kakiku dengan ringan ditrotoar, kepalaku mengangguk-ngangguk mengikuti alunan musik dari earphone yang menyumpal telingaku.

Dua tahun sudah aku hidup dengan damai dan bahagia, yah meskipun tidak benar-benar bahagia, jujur aku masih menyukai rey arwah pelindung yang tampan dan juga manis."aku berharap bisa bertemu lagi denganmu, rey." Aku berhenti berjalan, mataku menatap lurus kedepan. Jantungku berpacu cepat.Tidak mungkin..."Reynand?" Diarah yang berlawanan denganku, aku melihat Reynand. Dia berjalan dengan cepat sambil menahan senyumnya. Matanya menatapku. mungkin..aku tersenyum. apa ini nyata? itu benar Reynand Alexi.apa ini reinkarnasi? atau dia terlahir kembali?

Bodoh!! Itu mustahil..saat aku akan membuka mulut hendak memanggil namanya. Muncul seorang gadis berparas cantik memeluk lengan Rey, dan saat itu senyumku memudar dan aku kembali mengatupkan bibirku. "hah?" Mendadak hatiku nyeri dan sedikit sesak. Rey dan gadis itu nampak bahagia, mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Dan hatiku mencelos saat mereka melewatiku begitu saja."kenapa pertemuannya harus seperti ini?"Aku berbalik dan menatap punggung Rey dan gadisnya dengan sendu.

Cerpen - Bukan Aku!


Aku terduduk dilantai. Wajahku menunduk. Mereka semua menertawakanku, yah mereka! Anak-anak bodoh yang hanya tau menindas kami yang lemah. Anak-anak pengecut yang hanya berani menunjukan kekuatannya pada kami yang lemah. Aku mengepalkan tanganku, menahan segenap emosi yang lama kupendam. “Hei! Lihat, tangannya !” Seru gadis dengan seragam pas badan, Risa.Seluruh kelas tertawa mendengar perkataan Risa. “Wah, mau melawan yah?” Ejek gadis dengan rambut berwarna coklat, Tania sambil menarik rambut panjangku yang sudah kusut. Aku merintih sambil berusaha menggapai tangannya yang berada dirambutku. Rasanya sakit sekali. Bukan, bukan sakit itu yang kumaksud. Tetapi, sakit yang ada dihatiku. Harga diriku terluka, harga diriku terinjak-injak oleh kaum sampah itu.

“Sakit?” Tanya Reva, ketua dari pelopor bully nomor satu disekolah.Aku diam. Aku memberanikan diri menatap mata yang selalu memandang rendah orang sepertiku. Aku mencemooh dirinya melalui tatapan. Aku tak lagi memperdulikan rasa sakit dikepalaku akibat rambutku yang masih ditarik oleh Tania. Aku melihat sedikit rasa kesal diwajah palsu Reva karena aku mulai melawannya. Akhirnya, dengan segenap keberanian, aku mencekal lengan Tania dan mencengkramnya sekuat yang aku bisa. Tania dan seisi kelas terkejut melihatku. Aku terus mencengkram lengannya hingga Tania melepaskan tangannya dari rambutku.

“Bagaimana rasanya?” Tanyaku pelan.“Dasar gila! Kau kerasukan, yah?!” Tania berteriak.Aku melihat lengan Tania yang memerah. Aku tersenyum kecil. Aku bangkit dan berdiri tegap. Tanganku merapikan rambutku sekenanya. Ketiga pembully itu terlihat sangat kesal. Sudah sejak lama aku berdiam saat orang-orang bodoh ini menindasku dan orang yang serupa denganku. Tapi hari ini, tidak lagi.“Kalian siapa?” Tanyaku  menatap Reva yang berdiri dengan tangan terlipat didada.“Si cupu mulai bicara!” Ejek Tania.“Kukira dia tidak bisa bicara,” Sambung Risa.

Aku menarik nafas perlahan, mataku berpendar keseluruh kelas yang tertawa karena ejekan yang dilontarkan Tania dan Risa padaku. Reva mengangkat tangannya, mengintruksi agar semua orang diam. Saat semua diam, aku kembali bersuara.“Kalian fikir, kalian hebat? Kalian fikir, kalian lebih baik dari kami yang lemah? Kalian fikir, dengan semua harta dan kelebihan yang kalian semua punya bisa membuat kalian merasa menjadi penguasa?” Aku menatap seluruh kelas yang tercengang dengan perkataanku. Tania, Risa dan Reva sebaliknya mereka justru memandang rendah diriku.

“Sadar diri, TEMPATMU bukan DISINI,” Reva duduk diatas meja tak jauh dari tempatku berdiri. “Anak beasiswa? Keluarga miskin? Gendut? Berkaca mata? Berbaju lusuh?” Reva turun dan menghampiriku. Dia berbisik ditelingaku. “Kau merusak citra sekolah ini!”BughSemua terkejut bahkan ada yang menjerit. Reva tersungkur karena aku mendorongnya dengan keras.“KAU TIDAK BERHAK MENGATAKAN ITU PADAKU!” Teriakku kalap. “KALIAN HANYA SAMPAH! JUSTRU KALIAN YANG TIDAK PANTAS BERADA DISINI!” Sambungku.Aku melihat mereka mulai merekam kejadian ini dengan kamera ponsel pintar mereka.

Aku tidak perduli lagi! Sudah cukup, apa yang salah dariku? Hanya karena aku masuk sekolah ini karena kepintaranku? Hanya karena aku terlahir dari keluarga miskin dan fisikku yang tidak seindah mereka? Apa karena itu mereka semua membedakanku? Aku mendengar bisik-bisik. Rasanya aku ingin menangis. Bukan kemauanku memiliki semua kekurangan ini, tapi kenapa mereka begitu jahat padaku?Reva berdiri dibantu oleh Tania dan Risa. Dia mengusap sikunya yang mungkin akan memar karena cukup keras menghantam sudut meja yang tumpul.“sialan!” Desis Reva. “Pegangi dia!” Titahnya kemudian.

Tania dan Risa berjalan kearahku. Mereka meraih kedua tanganku dan mencengkramnya dengan sangat keras. Aku berontak, mereka cukup kewalahan. Tapi, tangan mereka tetap berada dilenganku. Reva mulai mendekat. Aku menarik nafasku, mengumpulkan keberanian dan,“Arghh!!” “Awhhhh!!”Aku menggigit lengan Tania dan Risa bergantian. Cengkramannya terlepas. Aku marah! Aku mulai menyerang mereka bertiga secara bergantian dan seisi kelas hanya menonton dan merekam tanpa berbuat apa-apa. Aku menarik rambut mereka, memukul mereka sambil meneriaki merekan dengan kata-kata kasar yang sering dilontarkan padaku.

“ADA APA INI?!” Aku berhenti saat mendengar teriakan itu. Nafasku naik turun. Mereka bertiga berjalan tertatih menuju sumber suara. Aku menatap nanar lantai tempatku berpijak.“Dia!” Tunjuk Reva padaku. “Dia menyerang kami, bu. Lihat!”Aku menggeleng sambil menatap wajah guru BK yang kini menatapku tajam. Bukan! Bukan aku!“Dina! Ikut saya sekarang!” “Bu, tapi mereka yang salah, bukan aku!” IKUT SAYA SEKARANG!” Teriak Guru BK itu tanpa mau dibantah.Dan disinilah aku. Diruang guru juga ada kepala sekolah. Aku duduk ditengah diantara para guru. Seperti terdakwa yang menunggu putusan hakim.

Aku hanya diam dan menunduk mendengar semua omong kosong yang diucapkan oleh para sampah sekolah itu. Aku ingin berteriak pada mereka semua bahwa bukan aku pelakunya. Bukan aku orang jahatnya. Tapi mereka!“Saya tidak menyangka bahwa kamu bisa berbuat senekat itu,” Kepala sekolah angkat bicara. “Bukan aku, pak!” Ucapku pelan.“Dina, tapi itu yang terjadi, sebaiknya jangan mencoba membela diri lagi,”Aku menggeleng. “sekolah ini punya CCTV disetiap kelas, kenapa kalian lebih percaya mereka?”Aku menatap kepala sekolah dengan mata yang mulai memerah. “Pak! Saya korbannya! Saya!

Mereka menghina saya, mereka jahat pada saya tapi saya yang mendapat hukuman?”Kepala sekolah terdiam. Beliau menghela nafas tanpa mau menanggapi pembelaanku.“jadi, bagaimana keputusannya?” Tanya kepala sekolah pada semua guru.“Angkat kaki dari sekolah ini,” Aku tertawa miris. Sudah kuduga, ini akan terjadi. Mentang-mentang donatur terbesar, mecat siswa sembarangan. Aku tidak lagi mendengar apa yang selanjutnya mereka katakan. Aku diam bagai patung ditengah persidangan. Kulihat ketiga sampah itu tersenyum mengejek. Lucunya! Aku yang terbully malah menjadi seorang pembully.

Aku yang menjadi korban, tapi aku diperlakukan seakan akulah tersangkanya. Aku melirik dari ekor mataku, ada sebagian guru baik hati yang tidak bisa berbuat apa-apa karena takut bernasib sama sepertiku bila mereka melawan yang berkuasa. Dan aku hanya bisa pasrah bila sudah begini. Tanpa permisi, aku melangkah pergi dari ruang laknat ini. Langkahku terhenti diambang pintu. Aku berbalik, menatap semua orang yang berada disana bergantian dan terakhir aku menatap sang penguasa sekaligus ayah dari pembullyku, Reva.“Bukan aku, pak!”

Nemu Jodoh Di Wediombo


Di tepi pantai Wediombo, kunikmati pemandangan indah yang penuh keceriaan dari para pengunjung yang datang. Ditemani sekaleng minuman soda aku memerhatikan raut bahagia dari beberapa pasangan tengah tersenyum sambil menikmati keindahan pantai bersama pasangannya.Mendadak, aku terpikir akan diri sendiri, yang sampai saat ini belum juga memiliki pujaan hati. Bukan berarti aku tak diminati, mungkin jodoh belum menepi, karena memang aku sedikit pemilih.Hihi, aku tertawa geli.Menertawakan diri sendiri yang bisa saja jomblo hingga kiamat nanti.

Pikiranku jauh sekali, apa aku prustasi?Tiba-tiba seseorang menghampiri dan duduk di sebelahku tanpa permisi. Aku menolehnya dengan sedikit kerutan di kening. Tetapi, perempuan itu membalasnya dengan senyum ramah yang membuat amarahku sirnah."Kursi ini ada orangnya, Mas?"Pertanyaannya yang mendadak seakan membuat bibirku keluh. Aku tak bisa bicara sepatah katapun, hanya mengelengkan kepala saja."Kirain ...," lanjutnya, dengan nada yang santai seolah kami sudah lama saling kenal."Kirain apa?""Kirain lagi sama pacarnya," ucapnya menggoda."Pacar? Haha, mana adalah. Lagian, cewek mana sih yang mau sama ak--" mendadak aku tersadar, ucapanku akan membongkar identitas kejombloanku.

Ia tersenyum, kemudian bertanya. "Mas, orang Jogja?""Bukan. Aku dari Sumatra.""Loh, terus ke sini ngapain, kerja atau ketemu keluarga?""Jogja itu kota beragam budaya dan penuh akan kekayaan serta keindahannya. Siapa saja pasti ingin berada di Jogja."Ia menatapku sambil tersenyum. Mungkin karena jawabanku barusan. Aku balik bertanya kepada perempuan manis di sebelahku itu. "Kamu sendiri, tinggal di sini?""Nggak. Aku ke sini cuma liburan," jawabnya.

"Sendiri?""Bareng Sepupu, itu! Yang lagi main air," ia menunjuk ke arah pasangan yang sedang gembira bermain bersama kedua anak laki-laki mereka."Udah berapa hari di Jogja?""Hmmm, hampir satu minggu. Rencananya besok mau balik ke Padang."Entah kenapa jawabnya seolah membuat sedikit kegelisahan di hati. Padahal kami baru pertamakali ketemu. Harusnya aku tak begitu peduli, tetapi nyatanya aku seakan tak ingin ia pergi.

"Mas, kok bengong?!""Ah, nggak. Cuma kepikiran sesuatu aja," jawabku menyelipkan senyum di akhit kalimat."Boleh pinjem handphonenya?"Kuberikan ponselku kepadanya. Kulihat ia mengetik sesuatu. Sepertinya ia meluliskan nomor telponnya untukku."Kalau ada waktu, Mas bisa chat aku. Udah ada di kontak tuh! Cari aja, Luci," ujarnya lalu berdiri, "aku tinggal dulu ya, nanti kakak nyariin, kasian kalau sampek mereka muter-muter. Hehe," lanjutnya sebelum benar-benar pergi meninggalkan aku.

Sejak saat itu aku dan Luci sering chatting dan telponan. Bahkan tak jarang kami video call untuk melepas kerinduan mendalam. Meski kami terbilang sudah sangat dekat, bahkan jika orang yang melihat dan beranggapan tentunya mereka akan berkata kalau kami pacaran. Akan tetapi kenyataannya, kami tidak pernah mengatakan perasaan. Walau sebenarnya, aku sangat menyukai Luci.Namun, di suatu kesempatan yang telah kami janjikan. Aku akan menatap wajah Luci yang berdiri tepat di hadapan, bukan melalui layar berukuran lima inci lagi.

Sore itu, Luci mengirim pesan berisikan: Mas Danu, aku tunggu kamu di tempat pertamakali kita ketemu.Kami yang sudah membuat rencana jauh-jauh hari untuk berlibur di Jogja sekaligus bisa ketemu lagi akhirnya bisa terwujud. Sore itu aku bergegas menuju Pantai Wediombo dari penginapan tempat di mana tadi malam aku beristirahat.

Sesampainya di pantai, aku melihat seorang perempuan dengan baju yang sama dan di tempat yang sama, duduk sendiri sambil menikmati keindahan yang dimiliki Wediombo. Di tempat itulah pertamakalinya aku menjumpai Luci.Tidak ingin membuat ia menunggu lama, aku segera menghampiri Luci. "Maaf, membuatmu menunggu," ujarku tiba-tiba duduk di sebelahnya.

Ia tertawa, kemudian berkata. "Yang lama itu, menunggu Mas Danu nyatain cinta."Aku tersenyum, lalu memeluknya sambil membisikkan kalimat. "Aku mencintaimu. Secepatnya aku akan hallalkan kamu."Ia memelukku erat seakan tak ingin aku jauh dari dirinya lagi. Di Pantai Wediombo aku menemukan Luci yang kini menjadi kekasih, sekaligus mengakhiri petualanganku mencari sang pujaan hati.

Jangan Jatuh Cinta Pada Penulis


Jangan jatuh cinta pada penulis.Aku serius.Karena sejatinya penulis hanya mampu memberi kata, bukan makna.Karena sesungguhnya imajinasi penulis begitu liar, sampai tak ada ruang kosong yang tersisa meski kau memintanya.Detik ketika Arka mengucap kata sayang, seharusnya dia tahu dia bisa mendapatkan dua hal dari gadis itu. Kebahagiaan, juga pengabaian.Seharusnya Arka tahu gadisnya adalah penulis yang jatuh cinta seorang diri di hadapan kanvas idenya.

Klausa namanya, adalah seorang penulis yang menjunjung tinggi sebuah kesempurnaan dalam karya. Bagi Klausa sebuah kisah harus matang. Plotnya harus menarik, harus bisa menjungkirbalikkan hati dan perasaan pembaca setianya. Ceritanya harus bisa meresap dan diingat. Ceritanya tidak boleh hanya sekadar mampir kedalam sensor ingatan jangka pendek seseorang lantas dilupakan.Yang Klausa pikirkan hanyalah ceritanya, bagaimana cara menuangkan idenya kedalam bentuk kalimat dan paragraf yang nantinya akan disukai oleh pembacanya.
Klausa tidak memikirkan yang lain.

Tidak seharusnya Arka jatuh cinta. Arka menginginkan sesuatu yang lebih. Ia ingin Klausa memperhatikannya, bukan menjadikannya yang kedua setelah menomor satukan cerita-cerita fiksinya.Arka hanya bisa membisik dalam hati.Jangan jatuh cinta pada penulis, katanya.“Kekasihmu freak, bung.”Ucap Indra, salah satu teman satu divisi Arka saat sedang memergoki Arka di bilik kerjanya. Dipikirnya lelaki ini sedang sakit karena tidak ada suaranya setengah hari penuh. Atau barangkali karena menonton liga sepak bola tadi malam Arka keasikan berteriak sampai pita suaranya tercekik-cekik dan susah bicara.

Tapi ternyata Arka sedang memandangi foto Klausa yang dijadikannya sebagai gambar kunci layar ponsel pintarnya. Tidak ada alasan khusus. Dia hanya rindu. Laki-laki juga bisa rindu.“Freak?” Tanya Arka. Setengah penasaran, setengah tidak terima.Indra mengambil tempat di samping Arka dan ikut menatapi foto Klausa. “Dia terlalu tidak apa-apa tanpa kamu. Dia kelewat mandiri. Dia memilih kesendiriannya sebagai penulis, bersembunyi dibalik nama pena. Bukannya keluar dan jadi gadismu apa adanya.”

Arka diam. Merasa tidak setuju, tapi merasa bahwa Indra ada benarnya. Sudah beberapa bulan sejak komunikasi mereka tak sesering dulu. Arka rindu, namun Klausa masih sibuk berkutat dengan naskah triloginya yang masih harus dia selesaikan. Arka rindu, tapi ditahannya semua rindu itu. “Penulis memang seperti itu.”  Kata Indra lagi. “Dia lebih mencintai cerita yang dibuatnya dibandingkan kamu. Dia lebih senang merangkai cerita palsu dibandingkan membuat cerita denganmu. Kenapa kekasihmu tidak membuat satu cerita yang didasarkan pada kisah nyata kalian berdua?”

“Dia tertutup. Bukan dia tidak mau membuatnya, tapi dia hanya tidak mau mengumbar.” Arka membalik ponselnya. Diam-diam juga berusaha membalik keadaan. “Siapa kamu, bisa-bisanya mengkritik orang lain dan pekerjaannya?”“Aku tahu jawabannya.” Indra berdiri, berpura-pura mengangkat bahu dengan jenaka. “Itu karena kamu tidak sesempurna tokoh utama yang dibuatnya. Kamu tahu kan, tokoh utama novel-novel yang biasanya jadi best seller? Pemuda kaya, CEO, tampan, mapan, dingin, cuek, dikerubungi gadis-gadis sederajatnya tapi malah menyukai gadis sederhana.”

Arka diam mematung setelah diperlakukan bagai biduk catur yang akhirnya terkena skakmat.
Dirinya tahu persis bahwa kata-kata Indra benar-benar tidak masuk akal. Tapi entah mengapa kata-kata itu terus terngiang. Berdengung. Bising, rasanya seperti ada sekumpulan lebah yang berputar-putar mengitari gendang telinganya.Hari itu adalah salah satu hari terdingin di musim penghujan tahun ini. Dan pada akhirnya bagi Arka, hari yang dingin itu pas untuk mengakhiri sebuah hubungan.Arka datang ketempat Klausa sepulang kerja. Bukan atas nama rindu, melainkan karena dirinya kalah telak dari Indra.

Ia yakin dengan Klausa, tapi sayangnya kalimat Indra lebih persuasif.Malam itu hujan deras. Ini aneh, tapi rasanya seperti derai hujan itu sedang berusaha mewakilkan suatu emosi dari sepasang sejoli yang berada disana.Bau petrikor menyeruak ketika Arka membuka pintu yang memang tidak pernah dikunci itu. Seolah penghuninya tidak peduli dengan ancaman pencuri. Toh, yang di dalam hanya takut jika ide-idenya yang dicuri.Arka datang, dan kekasihnya ada disana.Sore itu dengan dikelilingi lembaran naskah triloginya, Klausa menangis.Katanya ia tidak bisa mengerjakan draf seri terakhirnya. Tidak ada yang bisa dipikirkan olehnya.

Writers block, katanya. Ia merasa tidak rela. Jika alurnya dipaksakan untuk berubah, apa nanti kata editornya? Gadis itu tak henti menangisi ceritanya yang akan usai. Menangisi kekosongan idenya. Arka yang tidak mengerti hanya bisa mengucap kalimat ‘tidak apa-apa’, ‘tidak ada yang salah.’
Tapi di dalam hatinya, Arka membenarkan Indra.“Freak..”Jangan jatuh cinta pada penulis.Kau tidak akan tahu kata-kata manis yang diucapkannya berasal dari hati atau dari potongan fiksi.Kau akan dipatahkan hatinya dengan cara yang tidak terduga.Dan Arka akhirnya mengerti setelah waktu berlalu meninggalkannya.

“Namanya Klausa.” Hanya itu yang bisa dijawab Arka ketika Abigail datang padanya sembari membawa selembar foto. Abigail menemukan foto itu di dalam laci lemari, dan dia penasaran.
Arka tersenyum. Menggeleng kala Abigail menanyakan nama panjangnya. Arka tidak ingat. Benar-benar tidak ingat.Abigail menggumam. “Cantiknya.”, katanya pelan yang kemudian mengundang senyum paksa dari Arka. Ia tertawa pelan, sebisa mungkin menyembunyikan pedih yang masih ada di dalam hatinya. Hatinya retak. Sudah lama, namun suara retakannya masih menggema. Menyisakan patahan yang kemudian menjadi luka. “Begitupun dirimu.” Jawab Arka. “Klausa dulu penulis.”

Abigail diam menunggu kata-kata selanjutnya. Tapi Arka tidak melanjutkan.Penyesalannya datang lagi. Seandainya dulu dia mengerti sedikit saja. Seandainya dia mau menunggu sedikit lebih lama. Pada akhirnya Arka terlambat mengetahui alasan mengapa Klausa tidak bisa melanjutkan draf ceritanya. Alasan Klausa tidak bisa melanjutkan fiksi-fiksinya. Alasan atas semua kekosongan idenya.  Alasannya adalah dia. Karena Klausa jatuh cinta, dan Klausa sadar Arka berniat meninggalkannya. Semua ide-idenya mendadak menguap, pabrik idenya berhenti bekerja. Yang bisa Klausa pikirkan hanya Arka.

Dirinya tidak mampu merangkai cerita kala sedang jatuh cinta. Tapi tidak pula ketika dia sedang patah hati. Klausa tahu Arka tidak bisa menunggu. Klausa tahu dirinya mengabaikan terlalu lama. Dihantui firasat kehilangan akan lelaki dan pekerjaan yang dicintainya, Klausa dihadapkan pada dua pilihan. Berhenti menulis sementara atau melupakan Arka untuk sementara pula. Merasa tidak sanggup, Klausa kemudian membuat pilihan lain ketimbang memilih yang sudah ada. Ia akan mengungkapkan cintanya dalam karyanya. Klausa menyelesaikan karya terakhirnya, trilogi yang ia janjikan. Arka menangis sejadi-jadinya ketika menyadari betapa besar Klausa mencintainya.

Arka masih menyimpan foto-foto Klausa. Menyimpan novelnya yang sekarang berubah lusuh. Arka bahkan menyimpan artikel-artikel surat kabar yang membahas karyanya. Arka menyimpan surat kabar dengan headline besar di muka yang membahas kematiannya. Membahas kronologi bagaimana truk kelebihan muatan itu menghempas tubuh Klausa keras ke aspal jalanan. Arka tahu Klausa melamun memikirkannya, memikirkan dia yang mengucap kata usai sebelum triloginya selesai. Arka tahu Klausa takut pesannya tak tersampaikan.

“Penulis terkenal ya?” Tanya Abigail memecah bulir-bulir kenangan yang sedang Arka kumpulkan.
“Ya, penulis hebat.”Ya, Arka tidak bohong. Klausa penulis yang hebat. Meskipun pedih jika mengingat karyanya menjadi best seller bertepatan dengan kepergiannya. “Boleh dipinjam?” Tanya Abigail sembari memandang Arka dan foto itu secara bergantian.“Boleh.” Abigail tertawa renyah lantas berlari kedalam. Suaranya keras membangunkan seisi rumah, “Ma, Pa, Kakek punya kenalan penulis terkenal!!” Jerit anak perempuan yang usianya belum genap enam tahun itu.Arka tersenyum lagi.

Jangan jatuh cinta pada penulis.Karena jika penulis jatuh cinta, dia menjadi tidak pandai membangun cerita.Penulis memberi kata dengan sentuhan makna.Penulis membiarkanmu hidup di dalam kisahnya.Karena penulis mencintai dalam diam. Tidak sekedar singgah, namun juga sungguh. Karena penulis jarang mengungkapkan, namun mereka menulisnya.Jangan jatuh cinta pada penulis.Sebab sekali kau jatuh cinta dengannya, kau akan mencintainya selamanya.Sekali lagi Arka membuka lembar terakhir sebuah buku yang berjudul sama dengan namanya.

Erda si anak yang malang


Merenung, Erda berpikir kenapa ia tidak menemukan teman perjalanan baru selain Aurelia, wajahnya tetap tenang, tidak ada rasa bersalah ataupun kecewa sedikitpun. Siang dan malam terus bergantian, menyenangkan para pemilik jiwa di bawah cahaya dan temaramnya. Aurelia menawarkan diri kepada Erda untuk melakukan perjalanan jauh melintasi tiga kota, sebuah kota jauh disana, dalam perjalanan Aurelia bercerita mereka akan ditemani kawan Aurelia yaitu Odium dan Aemulor, mereka adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki kesamaan watak dan merasa sangat menyatu.

Kereta melaju di tengah derasanya hujan, dentumnya sangat keras karena tiada siapapun di dalam kecuali mereka berempat, ya Erda, Aurelia, Odium, dan Aemulor. Kereta ini memang tidak ada masinis, sebuah teknologi mutakhir yang sudah tidak perlu lagi diperdebatkan. Mereka duduk berhadap – hadapan di atas kursi – kursi kayu kereta api. Barangkali dari kayu merbau, karena teksturnya yang kuat dan keras. Bau kereta ini menyenangkan, air hujan yang jatuh ke tanah seakan masuk kedalam kereta melalui rongga – rongga kereta, bau nya sangat harum dan menenangkan. Erda bercerita tentang kecintaannya terhadap hujan.

“Aku menyukai hujan sebagaimana aku menyukai diriku, ia adalah sumber dari segala sumber, hujan adalah rahmat yang tidak ada habisnya. Lihat kedatangannya, disambut hangat oleh awan yang menghitam dan gemuruhnya yang ceria namun mencekam. Semua harus tunduk akan kedatangan hujan, banyak dari mereka yang ketakutan, menghindar dan menyembunyikan diri, tapi mereka yang suci akan mendatangi hujan dan mengajaknya bermain bersama. Sedang kita ini? Munafik sekali! Menikmatinya tanpa mau menyentuhnya. Tapi lihat hujan tak pernah marah walau kita berlaku demikian, ia tetap menumbuhkan tunas tunas itu, memberi minum dan penghidupan bagi semua yang ada dibawahnya”

Erda bercerita sambil melihat keluar jendela, betapa indahnya hujan di sore hari itu.Odium adalah seorang yang selalu menebarkan kebencian, sedangkan Aemulor ialah seorang yang selalu iri terhadap apapun. Mereka berdua adalah pasangan paling serasi kebejatannya. Entah bagaimana Aurelia bisa berteman dengan mereka, barangkali memang benar bahwa Aurelia adalah kehidupan yang senantiasa bahagia, ia tak akan menjadi kelam hanya karena bertemu dengan Odium dan Aemulor. Aerulia pasti memilki cara pandang yang menyenangkan dalam menghadapi mereka.

Mereka berempat mulai berbincang panjang mengenai perjalanan mereka dari awal sampai mereka bisa bersatu di kereta yang sama, Erda menceritakan pertemuannya dengan banyak orang namun mereka memilki kesamaan yaitu berpisah secara tidak wajar. Odium dan Aemulor bercerita telah membantu para lelaki yang ingin terbebas dari istri – istrinya, mereka bersiasat menimbulkan kebenciannya antar keduanya, hingga banyak sepasang suami istri yang memilih untuk berpisah dan tidak akan bertemu lagi.

“Hai Erda adakah kamu tidak merasa iri dengan Aurelia, ia sangat baik, ia bahagia, aku tak pernah melihat kesedihan dari raut muka nya. Bukankah itu sebuah kemustahilan dimilki manusia? Lihat dia tidak bisa menghilang seperti orang yang kamu temui sudah sudah, kenapa bisa demikian?Seharusnya kamu curiga barangkali, bukan kau penyebab mereka hilang tapi Aurelia lah yang menyebabkannya, coba lihat raut mukanya, ia tetap tenang walaupun kawan – kawannya hilang? Kau tak curiga sama sekali” ucap Odium dengan santainya, Erda menatap lekat Aurelia, tapi seperti biasa Aurelia hanya tersenyum.

Aemulor menambahkan, “Dan barangkali Erda, Errol seorang pengembara itu sengaja Aurelia hilangkan, agar dia tidak akan bertemu dengan mu lagi, bukankah kau bilang pertemuan Aurelia dan Errol sangat mengharukan, kau sepatutnya curiga mereka ini bukanlah kawan biasa”.
Erda hanya diam membenarkan tempat duduk, matanya menatap tajam Aurelia, mulutnya terbuka, “Benar begitu Aurelia, kau menghilangkan semua kawanmu? Untuk apa? Agar aku tak ada kawan? Hingga kau sampai hati menghilangkan Errol? Seseorang yang menyenangkan dengan berbagai ceritanya?

Agar aku tak dapat lagi berjumpa dengannya? Apakah kau ini sebenarnya tau semua apa yang terjadi? Kau selalu bahagia dan tersenyum, mana ada manusia biasa yang selalu bahagia melihat duka di depannya? Apakah kau ini benar – benar kawan ku?”Aurelia hanya tersenyum, “Adakah kau tangkap kebohongan dalam wajahku? Sedikit saja adakah?”. Erda terdiam, batinnya mana bisa kebohongan ditangkap. Siapa sebenarnya Aurelia ini. “Apakah kau tidak ingin mengakui kesalahanmu? Kau telah salah menghilangkan segalanya. Kawan – kawan baru ku, dengan segala alasan yang tiada jelas muaranya. Kau tidak benar” Erda naik pitam.

Odium dan Aemulor tersenyum bahagia, mereka puas melihat dua sahabat bersiteru. Aurelia hanya diam, tersenyum. “Sekali lagi kau tersenyum, dan tidak mengakui lebih baik kau pergi, bawa semua kawan – kawanmu termasuk dua di depan ku ini” Erda menegaskan. Aurelia hanya diam dan kembali tersenyum seperti biasanya, seketika kotak yang selalu Erda bawa kemana – mana menganga, ia membuat lubang hitam seperti yang sudah – sudah Aurelia dan dua kawannya masuk kedalam. Kini hanya tinggal Erda seorang di dalam kereta. “Kenapa ini?” Erda merenung.

Sesuatu yang halus, entah apa membisikinya, “Siapa lagi yang hendak kau cari, semua lenyap? Tak ada yang sempurna untuk dijadikan kawan perjalanan Erda, selalu ada baik dan buruk, gelap dan terang tentu perlu untuk membuat gradasi yang indah bukan?” Erda hanya tertegun diam.
Kotak itu serasa sangat dalam, semua orang masuk kedalamnya. Tak tersisa, kini hanya ia seorang hidup di luar kotak. Semua manusia masuk kedalam kotak Erda, semua beragam jenis tak ada yang seragam. Erda adalah bumi, tempat segalanya ada. Kotak Erda adalah kotak bumi, di dalamnya telah masuk kebahagiaan, kesengsaraan, rindu, cinta, kedengkian, kebencian, iri hati, keindahan, dan banyak lagi.

Semua bercampur baur menjadi satu. Kini Erda hidup di luar kotak, semua kehidupan beralih di dalam kotaknya, ia mengatur sendirian, tak bisa berbuat apa – apa, sesuka hati para penghuni kotak. Dikehidupan lain, Konon seorang bernama Reli bercerita kepada seorang anak kecil bernama Paul. “Jadi Paul, kita ini memang hidup di dalam kotak, pikiran kita memang tak sama, tak ada yang sama. Tapi karena kotak ini Paul, beberapa pemikiran kita harus dikotak – kotak an, disamaratakan, bahkan paling tragis jika pemikiran tak sama maka akan dilenyapkan dan dihilangkan.

Oh Paul, andai kau bisa melihat kehidupan di luar kotak, mungkin kau tak akan jadi anak kecil yang kehilangan cita – cita gila. Paul konon cerita diluar sana ada kehidupan yang teramat indah, dihuni oleh seorang saja, ia adalah sumber dari segala sumber, ia bisa menjadi air, menjadi hujan, menjadi daun, dan menjadi apapun yang ia mau, ia adalah penguasa kehidupan ini” ungkap Reli, seorang yang memiliki nama  panjang Aurelia kepada anak kecil hasil cintanya bersama seorang pengembara yang tak pernah kembali ke rumah.

Sahabat terbaik


Mereka bertiga melanjutkan obrolan hingga petang, mereka tertawa hampir – hampir menangis karena tak kuasa menahan tawa yang tiada habisnya. Errol bercerita tiada hentinya, pengembaraan nya ke pulau – pulau langka, dan pertemuannya dengan mahluk – mahluk yang tak biasa, membuat Erda semakin ingin banyak tahu tentang siapa sebenarnya Errol. Tapi dasarnya Errol adalah pengembara, sekuat apapun Erda ingin mengulik kehidupannya, ia hanya akan menemukan pada savana hijau luas, seperti tak berujung, padang itu memang sangat nyaman dan hangat, pun menyuguhkan pemandangan yang akan membuat siapa saja tak akan bisa berpaling, hal itu lah yang akan membuat Erda semakin diam dan tidak dapat kemana – mana Errol terlalu indah untuk diketahui lebih dalam, ia sangat dalam dan luas. Erda tidak ingin melewatkan nya barang sedetik, dan seinci saja.

Burung – burung sudah tak terdengar suaranya, keadaan mulai gelap, namun Erda masih menikmati suasana itu. Errol seperti ada panggilan alam, ia bergegas berdiri, dan pergi ke arah sampannya, “Apa yang kau lakukan?” Erda mengikutinya dan berteriak, “Aku akan mengembara kembali, bulan depan waktunya saya untuk ke sebuah pulau di ujung dunia, saya harus menjenguk hewan peliharaan saya yang sudah memasuki masa kawin. Saya harus memastikan agar mereka tak punah, saya akan sangat lama disana, sampai bibit – bibit baru itu terlahir ke dunia” Errol tersenyum sembari memasuki sampannya. Erda tak kuasa membiarkan Errol pergi begitu saja,

“Dan kau tak boleh kemana – mana, ayolah aku sangat tidak suka perpisahan. Kau tau mengapa manusia – manusia suka sekali membuat kesalahan, mengapa mereka memilih bertemu walaupun pada akhirnya mereka tau ujungnya akan berpisah juga, apakah manusia memang suka membuat kesalahan Errol?” Erda menatap tajam mata Errol.Saya tidak akan bisa bercerita apapun lagi padamu jika saya berhenti disini, tidak ada pulau – pulau baru yang akan menggetarkan hatimu ketika aku menceritakannya, saya adalah pengembara, takdir saya mengembara, jadi tinggal adalah sebuah kesalahan, bukankah kau bilang tadi aku tidak boleh melakukan kesalahan dengan meninggalkanmu? Bagi saya tinggal adalah kesalahan, dan kembali mengembara adalah sebuah kebenaran. Kau harus mengerti” Errol mencoba menjelaskan dan mencoba mendayung sampannya.

Aurelia hanya tersenyum seperti biasa, “Sudah lah Erda, akan ku kenalkan kau dengan teman ku lainnya, semua juga menyenangkan” Aurelia mencoba menenangkan. Erda naik pitam, “Kau tak boleh atau kau akan tinggal selamanya denganku disini, dan kau akan menyesal karena tak punya harga diri sebagai pengembara lagi karena kau tak bisa mengembara lagi” air danau berdesir, burung – burung pergi berhamburan, Errol seketika menghilang, ia lenyap masuk ke lubang misterius. Erda sangat sedih, ia tidak bermaksud melenyapkan Errol. Aurelia tersenyum, “Ayo lanjutkan perjalanan”.

Aurelia dan Erda kembali melanjutkan perjalanan, belum juga terpikir akan kemana arah langkah, Aurelia bertemu dengan kawan lamanya di persimpangan jalan. Panggil saja dia Desider, seseorang yang selalu merasakan rindu teramat dalam. Pertemuan Aurelia dan Desider cukup haru, Desider memeluk Aurelia sangat erat dan lama, ia mengangis sedu sedan, bahagia karena barus saja bertemu dengannya untuk kesekian lamanya, Aurelia hanya pasrah sembari tersenyum dan menepuk – nepuk bahu Desider. Entah apa yang sebelumnya terjadi antara Aurelia dan Desider, pertemuan kala itu membuat mereka sangat senang dan gembira. Apakah memang manusia memang suka bersikap berlebih – lebihan semacam itu? Erda hanya diam tenang, ia tidak terkejut atau pun bingung.

Desider tidak ingin pertemuan itu hanya sebatas pelukan, ia mengajak Aurelia dan Erda ke gubuknya yang ternyata tidak jauh dari persimpangan. Mereka berjalan bersama memasuki hutan, dan sampailah mereka di bawah hutan pinus, di sebuah gubuk kayu yang tenang dan damai. Desider hidup sendiri di gubuk, ia menceritakan kehidupannya dengan Erda dan Aurelia sembari duduk di sebuah kursi kayu di depan gubuk ditemani secangkir teh hangat yang ia sangrai sendiri daunnya diambil dari kebun belakang rumahnya.“Saya sudah hidup sendiri sangat lama, sebelumnya saya hidup bersama Iris di gubuk ini, Iris adalah pelangi, ia sangat indah, aku sangat menyukainya. Tapi sayang, Iris memang tidak akan lama tinggal disini, ia selalu pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, Ia berpindah mengikuti Alpin, si cantik yang tak bisa diam. Aku selalu merindukan Iris. Selalu dan tidak akan berubah. Aku memang perindu, memangnya kenapa?

Apakah aku salah, apakah manusia tidak berpikir, untuk apa menciptakan rindu jika ia tidak mau memungutnya dan membawanya pergi bersamanya, kenapa harus meninggalkannya dan tercecer dimana mana, coba kau bayangkan Iris meninggalkan rindu dibalik jendela, di daun pintu, di kaca cermin, di bawah bantal, di sofa, di kayu kayu ini, dan di udara semua ini. Coba pikirkan apakah aku kuat memungut satu persatu rindu ini sendirian? Seharusnya Iris memahami bahwa aku perindu yang jahat, ia tidak boleh meninggalkan rindu begitu saja, aku sudah memiliki segudang rindu yang tidak akan ada habisnya, mengapa harus ditambahi lagi persediannya, apalagi rindu ini tidak bisa mati, mereka malahan beranak pinak, dan jumlahnya kian membludak” ketus Desider.

Erda hanya terdiam, ia teringat Errol. Erda mulai berpikir, dimana saja Errol meninggalkan rindunya. Mampukah ia memungutnya satu persatu – satu barangkali dengan bantuan Aurelia, seseorang yang tidak pernah mengeluh itu. Erda menatap lekat bajunya, adakah Errol meninggalkan rindu di bajunya. Erda mencium tangannya, adakah Errol menyematkan rindu pada sela – sela jarinya. Erda semakin kebingungan, bagaimana bentuk rindu itu. Desider mengagetkan Erda dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kau mencari rindu dari seseorang nun jauh disana?” Erda teridiam mengangguk. “Tanya pada hatimu, seberapa sakit saat kau mengingat wajah dan ucapannya, sebanyak itu rindu yang kau simpan di rongga dada mu” Desire menjawab nya dengan tenang.

Erda mencoba mengingat kenangannya dengan Errol ia merasa sangat sakit, entah apa itu, ia merasa tidak kuat ingin menjerit. Batinnya, inikah rindu, mengapa begitu menyakitkan. “Aku merasakannya, bagaimana cara menyembuhkannya, bagaimana cara mengambil rindu ini?” tanya Erda sembari menahan sakit. “Bertemu! Sudah! Tapi bertemu saja tidak cukup, kau akan merasakannya kembali ketika kau tak bertatap muka, walaupun kau sedang duduk bersama!” tawa Desire memecah. “Biadap! Kau membuatku sakit, enyah” Erda marah, tak kuat menguasai diri sendiri. Aurelia hanya diam, pohon pohon pinus bergoyang – goyang terkena angin besar, teh hangat di meja mendingin, Desire seketika hilang. Ia lenyap ditelah lubang misterius. Aurelia hanya tersenyum seperti biasa, Erda tetap tenang. “Mari lanjutkan perjalanan”.

Erda dan Aurelia berjalan cukup lama, dijalan ia selalu bertemu dengan sosok baru. Tapi entah orang – orang itu selalu saja menghilang ditelan lubang misterius. Dives si kaya yang mereka temui hilang setelah keangkuhannya yang ia tunjukan kepada Erda, kakak beradik Stultus dan Ferox pun menghilang ditelan lubang misterius. Stultus si bodoh yang mengikuti jalan Ferox seorang yang sombong, membuatnya terjerumus ke lubang hitam tak termaafkan, sudah bodoh sombong pula. Pertemuan mereka dengan Concetta dan Cordelia, membuat Erda naik pitam karena seluruh argumennya yang selalu disangkal dan tak dibenarkan, Concetta seorang pemikir, sedang Cordelia seorang baik hati yang selalu bergantung pada Concetta, dan banyak lagi orang yang datang kemudian hilang. Barangkali kini tersisa beberapa saja di dunia Erda.